Tulisan blog ini adalah pendapat pribadi penulis dan ada beberapa yang diambil dari referensi yang sudah ada di internet

Intangible Property dan Transfer Pricing Indonesia


OECD menyatakan bahwa intangible itu pada hakikatnya adalah hak untuk menggunakan industrial Asset yang mencakup:
  • Patents, trademarks, trade names, designs or models.
  • Literary and artistic property rights, and intellectual property such as know-how and trade secrets.
Bagaimana dengan di Indonesia? Di sini DJP mendefinisikan intangible sebagai:

...suatu aktiva yang pada umumnya memiliki masa manfaat yang panjang dan tidak mempunyai bentuk fisik serta memiliki kegunaan dalam kegiatan operasi perusahaan dan penggunaannya tidak untuk dijual kembali, seperti paten, hak cipta atau merek dagang.

OECD membagi intangible itu menjadi trade dan marketing intangible. Ciri utama trade intangible adalah perlu adanya kegiatan penelitian. Makanya harganya cenderung mahal dan risikonya tinggi. Biasanya uang dari trade intangible ini diperoleh dari penjualan produk, lisensi, atau kontrak-kontrak dagang. Jika mendefinisikan trade intangible saya selalu teringat pada Spongebob Square Pants. Bagaimana Mr Krab mempunyai resep rahasia membuat Krabby Patty yang super enak di mana hanya Spongebob saja yang bisa membuat resep itu. Malaya tidak heran kalau Plankton menghalalkan sebagala cara untuk mencoba mencuri resep rahasia ini. Di dunia nyata ini selalu terjadi. Dahulu Tim Formula One Ferrari pernah diberikan sanksi karena mencuri teknologi McLaren dalam aerodinamika yang dirahasiakan. Kita juga membaca di media massa perang paten antara Samsung dan Apple.

Marketing intangible sebaliknya tidak serumit itu. Tidak perlu ada penelitian yang lama dan mahal untuk membuat logo jamu Cap Nyonya Meneer atau logo bebek goreng Haji Slamet asli dari Kartosuro. Yang penting harus ada promotional value-nya. Meskipun demikian, nilai marketing intangible tidak dapat dianggap ringan.

Di India ada kasus Maruti Suzuki di mana otoritas perpajakan India menyatakan bahwa pembayaran royalti dari Maruti ke Suzuki Jepang tidak masuk akal. Hal ini karena merk Maruti di India lebih terkenal dibandingkan dengan Suzuki. Jadi dengan memasang logo Suzuki di mobil buatan Maruti dan kemudian mewajibkan Maruti membayar royalti ke Suzuki sungguh tidak masuk akal. Seharusnya, menurut mereka, Suzukilah yang membayar ke India karena sudah ‘numpang terkenal’. Dengan kata lain Maruti sudah membangun brand Suzuki di India. Pengadilan India menggunakan bright-line test untuk memutuskan kasus ini. Pengadilan menyatakan bahwa klaim otoritas pajak itu benar jika mereka bisa membuktikan bahwa Maruti melakukan pending untuk advertising, marketing, dan promotion melebihi biaya serupa yang dikeluarkan perusahaan sejenis lainnya. Bright-line test ini pertama kali dipergunakan di Amerika untuk memutus kasus DHL, yang ­nature-nya agak mirip dengan Maruti.

Analisis Transaksi

Dalam menganalisis transaksi intangible, ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab:
  • Apakah asetnya benar-benar ada dan bermanfaat?
  • Apakah benar terjadi peralihan aset?
  • Apakah harganya wajar?
Dalam pertanyaan pertama, ada beberapa hal yang mungkin bisa menjadi panduan, yaitu:
  • Kontrak.
  • Analisis fungsi, aset, dan risiko. Kita maunya sebesar mungkin FAR ini ada di Indonesia supaya ada alasan untuk membawa penghasilan ke Indonesia untuk dipajaki.
  • Struktur organisasi
  • Daftar tenaga ahli (peneliti, marketer).
  • Wawancara.
Jangan sampai misalnya suatu perusahaan membayar royalti untuk menggunakan suatu teknologi canggih namun dalam struktur organisasinya tidak terdapat karyawan yang mampu menggunakannya. Dalam hal melihat apakah benar terjadi peralihan aset apakah si pembeli intangible mempunyai kemampuan untuk menggunakan aset yang dibelinya. Ini sebenarnya terkait dengan struktur organisasi tadi. Terakhir, dalam menganalisis kewajaran harga, salah satu kunci adalah pelaksanaan analisis kesebandingan. Di sini beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain:

1. Exclusivity
2. Extent and duration of legal protection
3. Geographic scope
4. Useful life
5. Stage of development
6. Rights to enhancements, revisions, and updates
7. Expectation of future benefit

Mungkin yang menarik dalam intangible adalah mengenai useful life. Kita harus ingat bahwa umur manfaat intangible itu variasinya tinggi. Pasal 8 UU No 14 tahun 2000 tentang paten misalnya menyatakan bahwa paten umurnya bisa mencapai 20 tahun. Di sisi lain tidak sedikit intangible yang daur hidupnya jauh lebih singkat. Microsoft misalnya, terbiasa melunculkan produk Office setiap tiga tahun. Contoh lain, teknologi prosesor Sandy Bridge dari Intel tahun lalu masih termasuk paling canggih, namun saat ini perlahan tapi pasti posisinya mulai didesak oleh Haswell. Hal yang agak berbeda bisa dilihat pada marketing intangible yang umurnya bisa lebih panjang. Contohnya saja Coca Cola yang sudah bertahan selama puluhan tahun.

Dalam melakukan analisis kewajaran harga transaksi, metode yang dipergunakan sama seperti metode transfer pricing lain yang sudah Anda pelajari pada mata diklat yang lain. Secara sekilas, metode ini sudah disinggung pada awal bahan ajar ini. Barangkali yang perlu ditambahkan di sini adalah bahwa ada beberapa negara yang menolak penggunaan database komersial, seperti RoyaltyStat, dalam analisis CUP, contohnya Belanda dan Italia karena hasilnya dianggap bias. Dalam hal ini, RPM bisa dipergunakan khususnya pada kondisi di mana intangible dijual menjadi satu dengan barang atau ketika intangible itu disublisensikan.

Selain metode-metode itu, OECD sebenarnya menyatakan bahwa bisa dipergunakan metode lainnya asalkan masih bisa mengindikasikan hasil yang arm’s length. Beberapa praktisi lalu meminjam prinsip-prinsip dalam corporate finance dan penilaian properti lalu menggunakannya dalam transfer pricing. Muncullah pendekatan cost, market, dan income. Pada pendekatan cost, nilai intangible didasarkan pada besar biaya yang dikeuarkan dalam menghasilkan intangible itu. Sedangkan pendekatan market pada hakikatnya menilai intangible dengan membandingkannya dengan transaksi lain yang comparable. Jadi di sini sebenarnya ada kemiripan dengan CUP. Terakhir untuk income, argumennya adalah bahwa nilai itu berbanding lurus dengan penghasilan yang diperoleh dari menggunakan intangible itu. Makanya semakin besar penghasilan makin tinggi pula nilai intangible. Yang sering dipakai pada pendekatan income adalah discounted cash flow (DCF) dan rule of thumb.