Sebagaimana kita ketahui bahwa Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan banyak aturan mengenai masalah Transfer Pricing. Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya PER-32/PJ./2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
Di dalam pasal 11 aturan tsb ditetapkan bahwa terdapat 5 metode yang dapat digunakan yaitu :
- Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP);
- Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM);
- Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method);
- Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM); atau
- Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).
Dalam penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib dilakukan kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai (The Most Appropiate Method).
Pada dasarnya kelima metode tsb dalam rangka penetapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Tetapi khusus untuk yang berhubungan dengan besaran tarif royalti ada beberapa fokus, yaitu terletak pada :
- transaksi pemanfaatan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi;
- terdapat manfaat ekonomis atau komersial; dan
- transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa mempunyai nilai yang sama dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding dengan menerapkan Analisis Kesebandingan dan menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi.
Bagi masyarakat umum keberadaan manfaat terletak pada atau bisa terlihat pada nilai harga produk yang dapat dijual, pangsa pasar yang lebih tinggi, penghematan biaya, kurva pembelajaran yang lebih singkat, atau nama merek yang kuat.
Sesuai bunyil Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), royalti mengacu pada iimbalan atas penggunaan atau hak menggunakan berbagai Hak Kekayaan Intelektual maupun pengetahuan, peralatan/perlengkapan industrial, film, dan sebagainya. Imbalan menjadi penting di sisni. sehingga penulis berpendapat bahwa pembayaran royalti tersebut sangat terkait dengan adanya suatu hak di masa depan yang terkait dengan pengembalian modal atau return.
Dengan melihat keterkaitan antara pembayaran royalti dan investasi, bahwa terdapat motif mencari laba dari pembayaran royalti tsb karena jangan lupa bahwa tujuan dari suatu usaha bisnis adalah mencari laba (imbal hasil) atau meningkatkan kekayaan pemegang saham dari investasi yang telah dilakukan. Kemudian akan timbul pertanyaan, bagaimana mengetahui besaran kontribusi penggunaan Hak Kekayaan Intelektual jika pembayaran royalti dilakukan terhadap laba saat itu.
Sebagaimana yang penulis ketahui, pada umumnya pemeriksaan pajak dilakukan secara post audit untuk 1 tahun buku, jika ada, bisa lebih dari 1 tahun buku artinya pelaksanaan audit dilakukan setelah laporan keuangan ditutup untuk 1 tahun buku tetapi bisa lebih dari 1 tahun buku tetapi harus diingat bahwa UU KUP mengatur tentang daluwarsa penetapan.
Daluwarsa penetapan pajak ditentukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau tahun Pajak.
Lalu bagimana bisa pemeriksa pajak melakukan uji manfaat dari royalti atau HKI tsb ? Kalau seandainya HKI baru didapat dan langsung dilakukan pemeriksaan ? Tentunya uji manfaat bisa dilakukan jika pemilik royalti telah menggunakan royalti dengan jangka waktu yang lama atau sudah bisa memberikan atau menunjukkan suatu kontribusi kepada perusahaan. Sebagiamana kita ketahui, suatu investasi atau usaha pemasaran tidak secara otomatis manfaatnya dapat dinikmati atau terlihat pada tahun terjadinya pengeluaran, dalam hal ini termasuk jua royalti.
Barangkali jangan juga dilupakan bahwa jangka waktu perjanjian royalti adalah untuk jangka panjang, dari pengalaman penulis, ada beberapa perjanjian yang tidak memiliki batas waktu.
Maka, jika tarif royalti ditentukan di awal, misalnya 2,5 %, dan disebutkan bahwa berlaku sampai dengan 20 tahun tanpa adanya perubahan, hampir bisa dikatakan bahwa secara implisit, perjanjian royalti adalah untuk manfaat yang kemungkinan besar hanya dapat dianalisis untuk beberapa tahun pajak di mana selama periode tersebut dapat terjadi di mana laba perusahaan mengalami kenaikan dan penurunan sejalan dengan perubahan ekonomi, siklus produk, kondisi internal perusahaan, kondisi vendor, supply chain, dan sebagainya.
Kembali ke permasalahan, dapatkah biaya Royalti dikoresi habis ?
Menurut penulis, biaya royalti bisa saja dijadikan nol dan bisa juga tidak, tentu semua memiliki alasan. Ingin tahu lebih banyak, Anda bisa berkonsultasi dengan kami. (WS)
-
Tulisan ini diambil sebagian dari Majalah Dwimingguan Indonesian Tax Review Volume IV/Edisi 14/2011 halaman 74 dan 75 karya Sukarnen Suwanto -